MEMASUKI tahun kedua sosialisasi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), banyak pihak yang sudah mulai terbiasa mendengar istilah KBK, walaupun maknanya belum dapat dipahami secara utuh. Meskipun uji coba KBK sudah mulai dilaksanakan di beberapa sekolah, sosialisasi KBK belum menyentuh semua lapisan yang terkait dengan proses pendidikan, termasuk guru apalagi mereka yang berada jauh di pelosok.
Kalaupun ada guru yang sudah dapat memaknai apa yang hendak dicapai dalam KBK, tapi pada umumnya masih ragu dan bertanya, bagaimanakah implementasi KBK di dalam kelas. Sampai saat ini sosialisasi operasional ke arah itu memang belum banyak dilaksanakan.
Kita tahu,bahwa dalam KBK itu guru hendaknya dapat mengubah sistem pembelajaran dari yang berorientasi pada guru menjadi pembelajaran yang berorientasi pada siswa. Sebenarnya metode yang berorientasi pada siswa ini bukanlah sesuatu yang baru. Sejak tahun 1980 lalu diharapkan metode ini sudah diterapkan di lapangan, tapi entah mengapa dalam pelaksanaannya sulit sekali untuk melaksanakan hal tersebut.
Banyak faktor yang mungkin menjadi kendala keberhasilannya, antara lain guru menilai terlalu banyak materi yang harus dicapai dalam kurikulum dan mau tidak mau harus disampaikan kepada siswa sehingga siswa terpaksa "dicekoki" begitu saja, sementara peluang waktu dirasa relatif sempit, apalagi dimanfaatkan untuk sistem caturwulan. Sehingga, guru seakan dikejar target kurikulum yang harus dicapai, belum lagi dihadang oleh waktu libur dan hari-hari produktif.
Kendala lain mungkin datang dari faktor siswa, latar belakang sosial ekonomi dan sarana belajar yang kurang mendukung pada pelaksanaan metode pembelajaran siswa aktif.
Dalam pelaksanaan KBK nanti, bukan tidak mungkin akan banyak dijumpai berbagai kendala seperti di atas. Akan tetapi, kalau memang metode pembelajaran yang berorientasi pada siswa memang menjadi tuntutan mengingat adanya berbagai kompetensi yang harus dicapai siswa, sebanyak apa pun kendalanya secara bertahap guru tentu harus berusaha menuju ke arah itu.
Salah satu alternatif metode pembelajaran yang dapat dilaksanakan dalam KBK nanti adalah metode cooperative learning. Metode ini biasa disebut juga metoda gorong royong. Sifat belajar cooperative learning tidak sama dengan belajar kelompok atau belajar bekerja sama biasa.
Dalam kerja kelompok guru biasanya memberi kelompok lalu memberikan tugas kelompok tanpa rancangan tertentu yang dapat membuat setiap siswa menjadi aktif. Akibatnya, siswa ada yang bekerja aktif tetapi ada juga yang pasif, ataupun bahkan ada yang main-main atau ngobrol.
Sementara itu, pembelajaran cooperative learning, setiap siswa dituntut untuk bekerja dalam kelompok melalui rancangan-rancangan tertentu yang sudah dipersiapkan oleh guru sehingga seluruh siswa haus bekerja aktif. Anita Lie (2002), dalam bukunya Cooperative Learning menyebutkan bahwa ada 5 unsur model pembelajaran cooperative learning, yaitu:
· Adanya saling ketergantungan positif antara anggota kelompok.
· Adanya tanggung jawab perseorangan. Artinya, setiap anggota kelompok harus melaksanakan tugasnya dengan baik untuk keberhasilan tugas kelompok.
· Adanya tatap muka, setiap kelompok harus diberikan kesempatan untuk bertatap muka dan berdiskusi.
· Harus ada komunikasi antar anggota. Dalam hal ini siswa tentu harus dibekali dengan teknik berkomunikasi.
· Adanya evaluasi proses kelompok, yang dijadwalkan dan dilaksanakan oleh guru.
Jika dikaji lebih jauh, cooperative learning sangat relevan dengan tujuan pendidikan yang ingin dicapai KBK, apalagi kalau dikaitkan dengan berbagai life skill yang harus dikuasai siswa. Umpamanya, dalam kecakapan berpikir rasional (thingking king skill), siswa dituntut memiliki kecakapan menggali dan menemukan informasi, kecakapan mengolah informasi dan mengambil keputusan serta kecakapan memecahkan masalah. Selain itu siswa pun dituntut untuk memiliki kecakapan sosial, termasuk kecakapan berkomunikasi dan bekerjasama. Di sinilah pentingnya peranan cooperative learning.
Dalam pelaksanaannya tentu harus mulai diperkenalkan sejak awal TK atau SD) dan berlanjut ke jenjang yang lebih tinggi. Hal ini penting agar siswa sudah terbiasa belajar dengan teknik-teknik pembelajaran cooperative learning yang sangat beragam, seperti jigsaw, dua tinggal dua tamu, kancing gemerincing, dan sebagainya. Teknik-teknik ini dapat disesuaikan dengan materi yang akan disampaikan dan dijenjang mana pembelajaran dilaksanakan.
Yang menjadi masalah adalah kesiapan dari para guru dalam menerapkan metode ini sebab mereka dituntut untuk membuat rancangan-rancangan yang akan mendukung keberhasilan penggunaan metode ini. Tanpa dibuat persiapan yang matang dan rancangan yang terarah, keberhasilannya tentu diragukan. Dalam sebuah penataran metode pembelajaran cooperative learning untuk para guru SMU, pada peserta yang pesimis terhadap efektivitas pelaksanaannya di kelas nanti mengingat berbagai kendala yang dihadapi, baik dari faktor murid, sarana, maupun faktor kebiasaan guru itu sendiri.
Tapi, pemateri mengatakan, jangan pesimis dulu, terima saja dulu, pahami, buat rancangan-rancangannya, lalu coba terapkan sedikit-sedikit, perlahan-lahan, sampai pada saatnya nanti semua dapat menerima dan melaksanakannya sesuai dengan yang diharapkan.
Melaksanakan sesuatu yang baru memang tidak mudah. Ada satu pengalaman, seorang rekan guru meminta makalah pembelajaran dalam KBK dari Diklat di Malang. Setelah dibaca, ia tidak dapat memahami bagaimana menerapkan teknik-teknik cooperative learning tersebut di kelas. Ini merupakan tantangan lain.
Sosialisasi metode pembelajaran ini perlu dengan demonstrasi, latihan langsung menerapkan teknik-teknik cooperative learning, termasuk membuat berbagai rancangannya karena melalui cara itulah sosialisasi metode ini akan jauh lebih mudah dapat dipahami.
Kepada para guru yang baru mengenal metode pembelajaran cooperative learning, perlu diberikan bimbingan langsung dalam pelaksanaan, misalnya melalui workshop yang diikuti para guru per bidang mata pelajaran sehingga contoh-contohnya diambil dari materi KBK mata pelajaran tersebut. (Dewi Syafriani, Guru SMUN Soreang)***
Kalaupun ada guru yang sudah dapat memaknai apa yang hendak dicapai dalam KBK, tapi pada umumnya masih ragu dan bertanya, bagaimanakah implementasi KBK di dalam kelas. Sampai saat ini sosialisasi operasional ke arah itu memang belum banyak dilaksanakan.
Kita tahu,bahwa dalam KBK itu guru hendaknya dapat mengubah sistem pembelajaran dari yang berorientasi pada guru menjadi pembelajaran yang berorientasi pada siswa. Sebenarnya metode yang berorientasi pada siswa ini bukanlah sesuatu yang baru. Sejak tahun 1980 lalu diharapkan metode ini sudah diterapkan di lapangan, tapi entah mengapa dalam pelaksanaannya sulit sekali untuk melaksanakan hal tersebut.
Banyak faktor yang mungkin menjadi kendala keberhasilannya, antara lain guru menilai terlalu banyak materi yang harus dicapai dalam kurikulum dan mau tidak mau harus disampaikan kepada siswa sehingga siswa terpaksa "dicekoki" begitu saja, sementara peluang waktu dirasa relatif sempit, apalagi dimanfaatkan untuk sistem caturwulan. Sehingga, guru seakan dikejar target kurikulum yang harus dicapai, belum lagi dihadang oleh waktu libur dan hari-hari produktif.
Kendala lain mungkin datang dari faktor siswa, latar belakang sosial ekonomi dan sarana belajar yang kurang mendukung pada pelaksanaan metode pembelajaran siswa aktif.
Dalam pelaksanaan KBK nanti, bukan tidak mungkin akan banyak dijumpai berbagai kendala seperti di atas. Akan tetapi, kalau memang metode pembelajaran yang berorientasi pada siswa memang menjadi tuntutan mengingat adanya berbagai kompetensi yang harus dicapai siswa, sebanyak apa pun kendalanya secara bertahap guru tentu harus berusaha menuju ke arah itu.
Salah satu alternatif metode pembelajaran yang dapat dilaksanakan dalam KBK nanti adalah metode cooperative learning. Metode ini biasa disebut juga metoda gorong royong. Sifat belajar cooperative learning tidak sama dengan belajar kelompok atau belajar bekerja sama biasa.
Dalam kerja kelompok guru biasanya memberi kelompok lalu memberikan tugas kelompok tanpa rancangan tertentu yang dapat membuat setiap siswa menjadi aktif. Akibatnya, siswa ada yang bekerja aktif tetapi ada juga yang pasif, ataupun bahkan ada yang main-main atau ngobrol.
Sementara itu, pembelajaran cooperative learning, setiap siswa dituntut untuk bekerja dalam kelompok melalui rancangan-rancangan tertentu yang sudah dipersiapkan oleh guru sehingga seluruh siswa haus bekerja aktif. Anita Lie (2002), dalam bukunya Cooperative Learning menyebutkan bahwa ada 5 unsur model pembelajaran cooperative learning, yaitu:
· Adanya saling ketergantungan positif antara anggota kelompok.
· Adanya tanggung jawab perseorangan. Artinya, setiap anggota kelompok harus melaksanakan tugasnya dengan baik untuk keberhasilan tugas kelompok.
· Adanya tatap muka, setiap kelompok harus diberikan kesempatan untuk bertatap muka dan berdiskusi.
· Harus ada komunikasi antar anggota. Dalam hal ini siswa tentu harus dibekali dengan teknik berkomunikasi.
· Adanya evaluasi proses kelompok, yang dijadwalkan dan dilaksanakan oleh guru.
Jika dikaji lebih jauh, cooperative learning sangat relevan dengan tujuan pendidikan yang ingin dicapai KBK, apalagi kalau dikaitkan dengan berbagai life skill yang harus dikuasai siswa. Umpamanya, dalam kecakapan berpikir rasional (thingking king skill), siswa dituntut memiliki kecakapan menggali dan menemukan informasi, kecakapan mengolah informasi dan mengambil keputusan serta kecakapan memecahkan masalah. Selain itu siswa pun dituntut untuk memiliki kecakapan sosial, termasuk kecakapan berkomunikasi dan bekerjasama. Di sinilah pentingnya peranan cooperative learning.
Dalam pelaksanaannya tentu harus mulai diperkenalkan sejak awal TK atau SD) dan berlanjut ke jenjang yang lebih tinggi. Hal ini penting agar siswa sudah terbiasa belajar dengan teknik-teknik pembelajaran cooperative learning yang sangat beragam, seperti jigsaw, dua tinggal dua tamu, kancing gemerincing, dan sebagainya. Teknik-teknik ini dapat disesuaikan dengan materi yang akan disampaikan dan dijenjang mana pembelajaran dilaksanakan.
Yang menjadi masalah adalah kesiapan dari para guru dalam menerapkan metode ini sebab mereka dituntut untuk membuat rancangan-rancangan yang akan mendukung keberhasilan penggunaan metode ini. Tanpa dibuat persiapan yang matang dan rancangan yang terarah, keberhasilannya tentu diragukan. Dalam sebuah penataran metode pembelajaran cooperative learning untuk para guru SMU, pada peserta yang pesimis terhadap efektivitas pelaksanaannya di kelas nanti mengingat berbagai kendala yang dihadapi, baik dari faktor murid, sarana, maupun faktor kebiasaan guru itu sendiri.
Tapi, pemateri mengatakan, jangan pesimis dulu, terima saja dulu, pahami, buat rancangan-rancangannya, lalu coba terapkan sedikit-sedikit, perlahan-lahan, sampai pada saatnya nanti semua dapat menerima dan melaksanakannya sesuai dengan yang diharapkan.
Melaksanakan sesuatu yang baru memang tidak mudah. Ada satu pengalaman, seorang rekan guru meminta makalah pembelajaran dalam KBK dari Diklat di Malang. Setelah dibaca, ia tidak dapat memahami bagaimana menerapkan teknik-teknik cooperative learning tersebut di kelas. Ini merupakan tantangan lain.
Sosialisasi metode pembelajaran ini perlu dengan demonstrasi, latihan langsung menerapkan teknik-teknik cooperative learning, termasuk membuat berbagai rancangannya karena melalui cara itulah sosialisasi metode ini akan jauh lebih mudah dapat dipahami.
Kepada para guru yang baru mengenal metode pembelajaran cooperative learning, perlu diberikan bimbingan langsung dalam pelaksanaan, misalnya melalui workshop yang diikuti para guru per bidang mata pelajaran sehingga contoh-contohnya diambil dari materi KBK mata pelajaran tersebut. (Dewi Syafriani, Guru SMUN Soreang)***